Saturday, June 6, 2020

Sejarah simpang jodoh dan Rujaknya

Foto : Sitindaonnews

Binasumut News - Medan

Masyarakat sumatera utara khususnya kota medan, tak ada yang tak mengenal dengan salah satu kuliner yang satu ini " rujak simpang jodoh ".
Rujak simpang jodoh sudah ada sejak tahun 1950 an. Menurut cerita, Simp jodoh ini adalah sebuah lokasi pertemuan muda dan mudi kala itu. Disebabkan kultur masyarakat pada era itu perkebunan, yang pekerja pekerja dari perkebunan ini suka nongkrong sekaligus mencari pacar. dari pertemuan muda mudi ini kebanyakannya berjodoh, sehingga tercetuslah nama lokasi ini dengan nama " simpang jodoh " hingga saat ini.

Simpang jodoh sendiri berada dikawasan kabupaten deli serdang, tepatnya dipasar 7 tembung/jalan stasiun. Tak sedikit penduduk lokal maupun diluar daerah menyempatkan diri ke lokasi ini guna bisa merasakan cemilan yang lezat ini.

Foto : Semedan.com

Di masa lalu, Tembung merupakan salah satu daerah yang menjadi bagian kejayaan perusahaan perkebunan raksasa di Sumatra Timur. Didaulat sebagai 'Tembung' (bahasa Melayu), karena di kawasan tersebut orang-orang pada masa itu kerap bertemu tanpa ada perencanaan. Pada dekade 1800-an, daerah Tembung ini masih berupa hutan seluas 2.000 bidang dan pemukiman puak Melayu di bawah kekuasaan Percut. Kondisi Tembung mulai berubah sejak perusahaan Deli Maatschappij membuka perkebunan di sana pada 18 Mei 1875. Kala itu, JB Droste sebagai administrator pertama perusahaan perkebunan tersebut. Sekitar 14 tahun kemudian, jabatan JB Droste digantikan oleh HCM Brouwer Ancker.

Di awal-awal perusahaan dibuka, perkebunan ini mempekerjakan 344 orang kuli kontrak. Sejak Brouwer menjabat, luas lahan pun membengkak menjadi 3.000 bidang dan laba yang diperoleh pada masa itu tiga kali lipat dari sebelumnya, dengan jumlah kuli kontrak 724 orang dan 200 orang pekerja tempatan.

Pada 1905, Deli Maatschappij menyatukan perkebunan Timbang Deli dan Perkebunan Bandar Klippa dengan luas tanah konsesi sebesar 5.000 bidang tanah. Sejak perkebunan itu dibuka, aktivitas masyarakat semakin berkembang. Pada musim panen, orang-orang kampung setempat mengirik padi di tempat satu tempat.

Di tempat pengirikan padi itu, para pekerja perkebunan juga datang untuk mencari hiburan, demi melepaskan kesumukan dari rutinitas di perkebunan. Apalagi, saat gajian besar, malam harinya, pekerja kebun nongkrong di tempat pengirikan padi itu. Tak diduga, banyak dari pekerja kebun dan warga setempat menemukan jodohnya. Dari pertemuan di tempat pengirikan itu, tumbuh cinta hingga berlanjut ke pelaminan. Karena jamaknya orang menemukan pasangan hidupnya di tempat pengirikan itu, lama-lama kawasan tersebut dinamai Simpang Jodoh.

Seiring waktu, aktivitas di lokasi pengirikan padi itu pun berkembang. Orang tidak lagi sekadar datang untuk nongkrong dan mencari jodoh. Pada dekade 1950-an penduduk puak Melayu mulai berdagang rujak di kawasan pengirikan padi itu. Di malam hari, mereka memakai lampu petromaks untuk penerangan. Sejak itu kebiasaan jualan rujak terus berlanjut hingga sekarang. Bahkan, kini rujak telah menjelma menjadi salah satu kuliner khas daerah Tembung kabupaten Deli serdang Prov sumatera utara.

Daud, seorang pedagang rujak menuturkan, mertuanya sendiri, Jumihah yang turut menggagas usaha rujak di kawasan sekitar Jalan Pasar VII Tembung, Kecamatan Percut Seituan pada awal dekade 1950. Jumihah generasi pertama penjual rujak di sana. "Dulu anak-anak muda kalau sore kumpul di sini sambil nengok kereta api lewat. Waktu itu mertua saya memanfaatkan situasi itu untuk berjualan rujak," ungkapnya.

penjual rujak lainnya menjelaskan, bisnis rujak Simpang Jodoh merupakan usaha turun temurun yang seluruhnya dilakoni oleh kaum perempuan. Dan saat ini, penjual rujak di sana kebanyakan sudah generasi kedua dan ketiga. Belum ada lampu jalan. Jadi kalau malam-malam mereka menjual pakai lampu petromaks.

Sebagai persimpangan tiga simpul jalan, Simpang Jodoh menjadi lokasi yang mudah diakses calon pembeli. Sebab, lokasi pedagang rujak ini dilalui oleh banyak alat transportasi umum. Posisi strategis ini berpengaruh kuat terhadap hasil penjualan pedagang rujak di Simpang Jodoh. Historisnya yang unik dan panjang telah menjadikan Simpang Jodoh akrab bagi telinga orang, baik warga Tembung maupun pendatang.

Banyaknya pedagang rujak, yang saat ini sekitar 40 pedagang sama sekali tidak menciptakan kompetisi. Jumlah itu justru memberi banyak pilihan bagi para penikmat rujak sekaligus memotivasi para pedagang rujak untuk memberi layanan yang terbaik kepada pembeli.

Sayangnya, lokasi pedagang rujak di Simpang Jodoh ini belum ditata dengan rapi dan tidak memiliki lahan parkir. Sehingga, setiap kali pembeli yang memiliki kendaraan berhenti tepat di depan lapak pedagang rujak mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Namun, kondisi ini tidak menghalangi pembeli untuk tetap datang membeli rujak.

0 comments:

Post a Comment